Naskah Teater "Tong Seng"


oleh: Agung Widodo

SENJA, 17. 30 PETANG. TERDENGAR ALUNAN MUSIK DANGDUT DARI RUMAH PEMULUNG. LASTRI -SEORANG PEREMPUAN BERUSIA ± 20 TAHUN- BERJALAN TERTATIH LANTARAN KESAKITAN KARENA INGIN MELAHIRKAN. DITOPANG SEORANG LELAKI -BAPAKNYA LASTRI BERUSIA ± 45 TAHUN- MENUJU KE RUMAH BERSALIN. DIHADANG RESEPSIONIS RUMAH BERSALIN:
RESEPSIONIS:
Ada yang bisa saya bantu, Pak?
BAPAK:
Yang kamu lihat apa? Masih ditanya.
RESEPSIONIS:
Ibu suruh masuk. Bapak menyelesaikan administrasi dulu.
BAPAK:
Administrasi apa? [MELANGKAH MASUK].
RESEPSIONIS:
Pak, Pak. Bapak tinggal di sini. Bapak belum menyelesaikan administrasi.
BAPAK:
Kalau dia mati?

RESEPSIONIS:
Tapi Bapak belum mendaftar.
BAPAK:
Saya bukan ingin sekolah.
RESEPSIONIS:
Bukan urusan soal sekolah. Tapi ini prosedur, Pak. Yang tidak daftar, tidak diakui sebagai pasien. Dan, selain pasien tidak akan dilayani.
BAPAK:
Kata siapa? Ibu jangan semena-mena. Apa ada peraturan seperti itu?

RESEPSIONIS:
Ini bukan masalah ada atau tidak, Pak. Kalau Bapak masih berkeinginan bersalin di sini. Kalau tidak, tidak usah ngisi juga tidak apa-apa.
BAPAK:
Ya sudah, mana?
RESEPSIONIS:
Saya tidak terbiasa menyia-nyiakan waktu. [MEMBERIKAN FORMULR PENDAFTARAN].
RESEPSIONIS:
Nama, tempat tanggal lahir, alamat, dan pekerjaan diisi lengkap.
BAPAK:
Saya tidak bisa nulis.
RESEPSIONIS:
Sini, biar saya yang nulis. Nama?
BAPAK:
Abdul Wakid.
RESEPSIONIS:
Tempat tanggal lahir, alamat lengkap, dan pekerjaan?
BAPAK:
Babakan, 18 Agustus 1953. Alamatnya, sebelah situ. Dari sini kelihatan.
RESEPSIONIS:
Pekerjaan?
BAPAK:
Pemulung.
RESEPSIONIS:
Di sini tidak menerima jaminan, Pak.
BAPAK:
Maksud, Ibu?
RESEPSIONIS:
Biasanya yang datang ke mari langsung bayar uang di muka. BAPAK MENGAMBIL UANG DARI CELANANYA.
BAPAK:
Sepuluh ribu dulu. Kurangannya nyusul.
RESEPSIONIS:
Tidak bisa, Pak. Minimal separonya, dua ratus lima puluh ribu rupiah.
BAPAK:
Dua ratus lima puluh ribu rupiah? Bu, sehari saya cuma dapat sepuluh ribu. Itu pun kalau rejekinya lagi cocok. Dari mana uang dua ratus lima puluh ribu?
RESEPSIONIS:
Biasanya Bapak cari uang di mana? Kalau biasa cari di tong sampah, di depan ada. Tapi tidak jaminan.
LASTRI:
[KESAKITAN]. Pak…..
BAPAK:
[MARAH]. Lihat, Bu. Ibu jangan menambah sial kami.
RESEPSIONIS:
Ini sesuai prosedur, Pak. Kalau bapak tidak bisa memenuhi, ya sudah. Saya hanya menjalankan tugas. Selamat petang. Sudah saatnya tutup.
BAPAK:
Dua ratus ribu pas?
RESEPSIONIS:
Dua ratus lima puluh ribu. Minimal. Lebih, malah tambah bagus.
LASTRI:
Pulang saja, Pak. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu?
BAPAK:
Sebentar, Tri.
RESEPSIONIS:
Atau, begini saja, Pak. Ibu bisa bersalin di sini.
BAPAK:
Gratis?
RESEPSIONIS:
Tapi bayinya ditinggal di sini.
LASTRI:
Ditinggal bagaimana? Pulang saja, Pak. [LASTRI MELANGKAH PULANG].
BAPAK:
Tri..
BAPAK:
[KEPADA RESEPSIONIS]. Mentang-mentang punya posisi, terus seenaknya sendiri memperlakukan orang?
BAPAK PERGI. DATANG SEPASANG LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN -UMI HANI’ DAN MASLIHUN-.
RESEPSIONIS:
Silakan duduk.
RESEPSIONIS:
Ada keperluan apa?
HANI’:
Begini, Bu. Sebenarnya kami takut mengungkapkannya.
RESEPSIONIS:
Takut dengan siapa, Bu?
DATANG YU NING –KESAKITAN- MAU MELAHIRKAN. HEBOH.
YU NING:
[MERINTIH KESAKITAN].
Bu…. tolong, Bu...
RESEPSIONIS:
[SAMBIL MENCATAT].
Nama ibu?
YU NING:
Nining.
RESEPSIONIS:
Alamat?
YU NING:
Jalan Pagerloyo, er-te: dua, er-we: tiga, Ujung Kulon.
RESEPSIONIS:
Ktp, Bu?
YU NING:
Uh, ribet! [YU NING MEMBERIKAN KTPNYA].
RESEPSIONIS:
Silakan Ibu masuk dulu.
YU NING MASUK.
MASLIHUN:
Begini, Bu. Kami…, kami boleh tidak, kalau, kalau….
HANI’:
Kita takut ketahuan Polisi.
RESEPSIONIS:
Kenapa takut dengan Polisi? Di sini jauh dengan Kantor Polisi.
HANI’:
Sebenarnya tidak berniat seperti ini. Sungguh. Tapi, terpaksa seperti ini, lalu bagaimana lagi?
RESEPSIONIS:
Langsung diungkapkan saja, Bu. Keperluan Ibu dan Bapak ke mari apa?
MASLIHUN:
[BISIK-BISIK].
Iya, Bu. Bagaimana ya? Kami, kami, kami mau membeli anak.
RESEPSIONIS:
Ya Tuhan. Begitu saja kok harus muter-muter dulu, Pak-Pak. Mengadopsi anak tidak dilarang, Pak. [MEMBERIKAN FORMULIR].
RESEPSIONIS:
Diisi yang lengkap.
SELANG BEBERAPA DETIK DATANG SEORANG NENEK.
NENEK:
Bu, saya mencari anak.
RESEPSIONIS:
[MEMINTA FORMULIR].
Bapak dan Ibu silakan masuk.
RESEPSIONIS:
Bagaimana, Nek? Nenek mencari anak? Kalau mencari anak yang hilang, bukan di sini tempatnya, Nek. Tapi di Kantor Polisi.
NENEK:
Bukan hilang. tetapi saya ingin mencari anak. Saya belum mempunyai anak. Jadi, saya menginginkan anak. Laki-laki kalau bisa. Perempuan juga tidak apa-apa.
RESEPSIONIS:
Baiklah. Nama nenek siapa?
NENEK:
Choirumi.
RESEPSIONIS:
Alamat?
DATANG LAGI SEORANG LAKI-LAKI BERNAMA SANAN.
SANAN:
[HORMAT. LANTANG. MELIHAT JAM TANGAN].
Selamat petang! Saya mau menawarkan sesuatu yang hebat.
RESEPSIONIS:
Antri, Pak.
SANAN:
Sangat penting!
RESEPSIONIS:
Antri dulu, Pak.
SANAN:
Pokoknya hebat!
NENEK:
[MENUTUP TELINGA].
Pak. Ngomongnya jangan keras-keras.


RESEPSIONIS:
[MEMBENTAK].
Bapak silakan duduk dulu.
RESEPSIONIS:
Alamatnya, Nek?
NENEK:
Semarang.
RESEPSIONIS:
Semarangnya mana, Nek?
NENEK:
Kampung Layur.
RESEPSIONIS:
Nenek tunggu di situ dulu.
NENEK DUDUK.
RESEPSIONIS:
[KEPADA SANAN].
Yang hebat apanya, Pak? Bapak mau jualan di sini? Maaf, Pak, di sini bukan tempat untuk berjualan. Tetapi tempat yang berurusan dengan bayi.
SANAN:
[TERCENGANG].
Iya, itu. Itu. Saya berurusan tentang bayi. Saya mau menjual bayi.
RESEPSIONIS:
Ktpnya, Pak? Nama, alamat, keperluan diisi.
SANAN:
[MEMBERIKAN KTP].
Sekarang modelnya begini semua iya, Mbak. Ngisi dulu. Ndak percaya sama saudara.
[MENGISI ADMINISTRASI].
SANAN:
[SAMBIL MENGISI].
Kira-kira menjual bayi di sini laku berapa, Mbak?
[DICUEKIN RESEPSIONIS].
SANAN:
Mbak, Mbak. Mbak marah? [SANAN DUDUK].
SANAN:
Dapat nomer berapa, Mbah?
NENEK:
Nomer tiga.
SANAN:
Mbah, menunggu siapa?
NENEK:
Menunggu dipanggil. Saya mau mencari anak. Zaman sekarang memang repot. Sudah sesak. Zaman dulu, waktu setelah ditinggal Belanda, saya masih kecil, sering diajak Bapak muter-muter Semarang sambil menghitung orang. Dulu orangnya masih sedikit. Banyak yang mati ditembak. Kakek saya mati diberondong Belanda.
SANAN:
Mbah mau mencari anak Mbah yang hilang?
NENEK:
Bukan. Saya belum punya anak. Saya paling suka anak laki-laki. Katanya di sini ada.
SEMENTARA, DARI RUMAH PEMULUNG TERDENGAR JERITAN BAYI.
SANAN:
Begini saja, Mbah. Biar saya saja yang masuk. Mbah ndak usah repot-repot masuk ke dalam. Nanti saya tanyakan, apa ada anak laki-laki atau tidak. Kalau ada, nanti tak pilihkan yang bagus. Mbah, nanti tak beri tahu. Sini nomor urut, Mbah, biar saya yang bawa.
NENEK:
Kamu kan sudah dapat nomer urut sendiri?
SANAN:
Barangkali. Dari pada Mbah bingung milih anak di dalam malah pingsan, bagaimana? Jangan khawatir, Mbah.
[SANAN MENYAHUT NOMER URUT NENEK].
SANAN:
Tenang, Mbah. Mbah duduk manis di sini.
HANI’ DAN MASLIHUN KE LUAR MEMBAWA BAYI.
RESEPSIONIS:
Nenek Choirumi.
SANAN MELANGKAH MASUK.
RESEPSIONIS:
[MENAHAN SANAN].
Pak, jatahnya Nenek.
SANAN:
Mbah takut bingung memilih anak. Terus minta dipilihkan saya. Tanya saja.
NENEK:
Iya, Bu. Biar dia saja yang memilihkan anaknya.
SANAN MASUK.
SANAN:
Selamat petang, Bu.
BIDAN:
[MEMBUKA JENDELA RUANGAN].
Ada apa, Pak?
SANAN:
Begini, Bu. Saya, mau menawarkan....
BIDAN:
Bayi? Bisa lihat, Pak?
SANAN:
Saya membawa datanya, Bu. Ples data harga.
BIDAN:
Kok? Bapak mau menjual banyak?
SANAN:
Iya, biasa, menjelang hari raya korban.
BIDAN:
Kok? Memangnya bapak mau menawarkan apa?
SANAN:
Biasanya, menjelang hari raya korban, ibu membutuhkan persediaan banyak endak?
BIDAN:
Biasanya…., tapi tidak mesti. Memangnya berapa jumlahnya?
SANAN:
Tidak banyak, Bu. Hanya dua belas ekor.
BIDAN:
Ekor? Bayi atau sapi?
SANAN:
Bukan sapi, Bu. Tapi saya mau menawarkan kambing.
BIDAN:
Ya tuhan, Pak. Orang-orang antri di sini semuanya urusan bayi. Hanya bapak yang urusan kambing.
SANAN:
Iya, Bu. Saya mau menawarkan kambing. Aji mumpung. Memangnya…?
BIDAN:
Maaf, saya sudah capai. Mau istirahat. [BIDAN KELUAR].
SANAN:
Bu…, Bu…..
BIDAN:
Maaf, Pak. Saya sudah capai. Mau istirahat.
NENEK:
Bagaimana, Pak?
BIDAN:
[KEPADA NENEK].
Di sini bukan tempat berjualan kambing. Nenek pulang saja.
NENEK:
Apa maksudnya?
BIDAN DAN RESEPSIONIS MASUK RUMAH, PINTU DITUTUP. DARI RUMAH PEMULUNG SUARA BAPAK DAN LASTRI RIBUT:
LASTRI:
[MENJERIT].
Jangan…!
BAPAK:
Berikan bayi itu.
RUMAH PEMULUNG GADUH. SUARA BANTINGAN GELAS. JERITAN LASTRI. NENEK DAN SANAN MELANGKAH PERGI.
NENEK:
Apa maksudnya?
SEEKOR KUCING MENGOREK DI TONG SAMPAH.
SANAN:
Tadi, saya menanyakan tentang bayi. Tapi malah tahunnya kambing.
LASTRI MEMBAWA BAYI LARI KE LUAR DARI RUMAH MEMBANTING PINTU [BERKERINGAT DAN GELISAH]. KEMUDIAN DISUSUL DARI BELAKANG BAPAK MEMANGGIL.
BAPAK:
[SUARA KERAS].
Tri, mau ke mana kamu?
LASTRI BERHENTI. BAPAK MENDEKATINYA. DI PINTU, BUDI -ADIK LASTARI BERUSIA ± 15 TAHUN- MENGINTIP [HANYA TERLIHAT KEPALANYA].
BAPAK:
Mau ke mana kamu?
[LASTRI DIAM].
BAPAK:
Pergi bukan solusi.
LASTRI:
Anak ini tak pernah memperkirakan nasibnya demikian. Saya akan membawanya ke nasib yang sebenarnya.
BUDI KELUAR DARI RUMAH, KENCING.
BAPAK:
Kamu tak kan menemukannya. Biarkan nasib anak itu saya yang tentukan.
LASTRI:
Bapak, bukan Tuhan!
[LASTRI MELANGKAH PERGI].
BAPAK:
[MEREBUT BAYI].
Berikan bayi itu!
BUDI LARI MENCEGAH TINGKAH BAPAKNYA. MENYURUH KAKAKNYA LASTRI LARI.
BUDI:
Hentikan, Pak. Mbak, lari.
SETELAH LASTRI MELANGKAH, BUDI DIHAJAR BAPAKNYA.
BAPAK:
[SUARA KERAS, MARAH].
Bangsat!
BUDI:
Bapak, yang bangsat!
BUDI LARI KE DALAM RUMAH. BAPAK MENGEJARNYA KE DALAM RUMAH. GADUH. LASTRI TERUS BERJALAN. SESEKALI MELIHAT KE ARAH RUMAHNYA. DEPRESI. BINGUNG. BIMBANG. LANGKAHNYA LAYU. SEMENTARA DARI ARAH LAIN, SEORANG TERORIS SUDAH TAMPAK MENGAMATI KEADAAN –DUDUK SAMBIL MEMAINKAN BIOLA- LINGKUNGAN RUMAH BERSALIN. KEMUDIAN LASTRI MEMBUANG BAYINYA DI TONG SAMPAH DI DEPAN RUMAH BERSALIN. TERORIS MELIHATYA. TETAPI TERORIS BELUM TAHU APA YANG DI BUANG LASTRI. LASTRI MENERUSKAN LANGKAHNYA. DI SELA ITU, TERORIS MENGHENTIKAN PERMAINAN BIOLANYA DAN SIAP MELETAKKAN BOM DI TONG SAMPAH YANG SAMA. TERORIS TERPERAJAT. LALU BAYI ITU DIAMBIL. TERORIS MEMANGGIL LASTRI.
TERORIS:
Mbak…! Mbak…!
TERORIS:
Apa kamu kira tong sampah tempat yang layak melenyapkan bayi?
LASTRI:
Mungkin anak itu akan menemukan nasibnya di situ.
TERORIS:
Bagaimana kalau nasibnya terhenti sampai di situ?
LASTRI:
Seperti itulah yang saya kehedaki.
TERORIS:
Tapi…
LASTRI:
[MARAH].
Pergilah, atau biarkan saya yang pergi.
TERORIS:
[TERSINGGUNG. MEMBERIKAN BAYI].
Baiklah, kalau itu sudah menjadi keputusanmu.
LASTRI MENARUHNYA LAGI DI TONG SAMPAH. KEMBALI MENERUSKAN PERJALANANNYA. BAYI MENANGIS KERAS.
TERORIS:
DUDUK, SAMBIL MEMAINKAN BIOLANYA.
Kalau telingamu belum tuli, dengar tangisan bayimu. Paling tidak, palingkan mukamu sebagai penghantar do’a untuk nasibnya yang akan datang.
LASTRI:
Sudah tak ada waktu luang untuk mendengarkan tangisnya. Lagipula, masih banyak perempuan yang lebih tuli.
TERORIS:
Tapi saya merasakan tangisannya sampai di telingamu. Lihatlah.
[TERORIS MENGAMBIL BAYI].
TERORIS:
Kamu terlalu dini meninggalkannya sendiri. Apa kamu kira membuang bayi di tempat orang-orang yang biasanya hanya membuang bekas-bekas kotoran, tempat barang-barang yang sudah tak memilii masa depan, menjijikkan, dapat merubah nasib bayimu?
LASTR:
Bungkam mulutmu! Simpan kalimat-kalimat busukmu itu. Jadikan puisi saja, kalau perlu.
TERORIS:
Atau memang kamu hanya berpura-pura tak mendengarkannya? Lihatlah. Cepat atau lambat, ia kan menuntutmu.
LASTRI:
[MARAH].
Bicaramu sudah terlalu banyak, Lelaki. Apa yang kamu inginkan? Meminta saya membawa bayi itu lagi? Terimakasih atas perhatiannya. Selamat tinggal.
TERORIS:
Kamu yang memintanya. Meminta saya untuk memaksamu membawa kembali bayi itu.
TERORIS MEMBERIKAN BAYI KEPADA LASTRI.
LASTRI:
[LASTRI MENOLAK].
Apa hakmu memaksa saya untuk membawa bayi itu? Dan untuk apa saya harus membawanya?
TERORIS:
Kamu yang melahirkannya. Apa pantas seorang bayi harus menerima perlakuan ibunya yang meninggalkannya kelaparan dan menggigil sendirian di tong sampah?
LASTRI:
Biarkan dia diasuh orang lain.
TERORIS:
Tanggung jawabmu merawatnya masih panjang. Berikanlah, hak-hak dia sebagai anak.
LASTRI:
Hak apa? Siapa yang mewajibkannya? Menunggunya mendapatkan nasib, tidak perlu waktu yang lama.
TERORIS:
Lama atau tidak, yang menentukan adalah kamu. Bayi ini akan tumbuh dewasa. Ia akan menggantikan peranmu seperti kamu pernah merawatnya. Apa yang kamu takutkan darinya?
LASTRI:
Apa saya harus merawatnya, kalau ketika ia sudah dewasa bakal menyetubuhi ibunya?
TERORIS:
Dosa apa bayi ini, sehingga kamu mengatakan hal itu? Lihatlah. [MENYERAHKAN BAYI. LASTRI MENERIMANYA].
TERORIS:
Dia bangga memiliki ibu seperti kamu. Bayangkan, jika selamanya dia tidak pernah mengenal wajahmu, wajah seorang perempuan yang melahirkannya. Wajah seorang perempuan yang menyumbang kontruksi matanya, rambutnya, jari-jari tangannya tubuhnya. Wajah seorang perempuan yang tanpa beralasan berniat membuangnya di tong sampah. Ia akan tumbuh besar. Menjadi seorang laki-laki yang perkasa. mungkin ia akan menjadi seorang politikus hebat, sastrawan terkenal, wartawan bijak, seorang yang menegakkan kebenaran di negeri ini yang matinya pun akan dijadikan bahan seminar di mana-mana, atau jika mungkin, ia akan menjadi tuhan yang dijelmakan oleh penganutnya. Pertimbangkan itu.
LASTRI MENGALAMI TEKANAN DAN DEPRESI.
TERORIS:
[MERAIH DAN MENGANGKAT PUNDAK LASTRI].
Percayalah, nasib anakmu akan lebih baik di pelukannmu. Apa yang kamu takuti? Sekarang pulanglah. Rawatlah dia seperti perempuan yang lain merawat anaknya. Belajarlah menjadi ibu yang baik.
LASTRI:
Aku takut tak bisa menjadi ibu yang baik
TERORIS:
Bayimu yang akan mengajarinya.
LASTRI:
[SIMPATI].
Benarkah?
TERORIS:
Kalau tak percaya, tanya padanya.
LASTRI:
Benarkah…?
TERORIS MENGANGGUK
LASTRI:
Benarkah…?
LASTRI:
Benarkah……, Lelaki tak butuh perempuan?
TERORIS:
Apa maksudmu?
TERORIS:
Terkadang, tetapi banyak lelaki yang trauma memikirkan tingkah perempuan.
LASTRI:
Banyak juga lelaki yang hanya mempermainkan perempuan. Perempuan dikiranya tukang cuci. Parahnya, perempuan dianggapnya sebagai ATM berjalan. Lelaki memang pintar merayu. Membikin sebait puisi, lalu dengan puisinya, lelaki berpamitan menyetubuhinya. Kemudian ketika perempuan hamil, alasannya belum bekerja-lah, krisis moneter, sibuk ngurus partai, atau mentok-mentoknya mencoba nyumbang solusi. Pertama gugurkan kandungannya. Kedua gugurkan kandungannya. Ketiga, mending kita putus saja. Ah, cerita kuno!
LASTRI:
Sekarang coba, kalau kamu beda dengan lelaki yang saya sebutkan tadi. Dapatkah kamu mengatakan, bagaimana saya akan membesarkan bayi itu? Sedang tanganku hanya dua.
TERORIS:
SIMPATI.
Bila saja saya tak bisa menunjukkan cara membesarkannya, saya tak akan memaksamu membawanya.
BUDI DATANG DENGAN MENUMPANG SEPEDA.
BUDI:
Mbak, tingkah bapak parah. Sekarang dia cuma bisa meratapi kepergianmu.
TERORIS:
[KEPADA LASTRI].
Anak itu mengabarkan berita dari rumahmu? Apa yang telah terjadi?
LASTRI:
Kamu belum cukup pantas mengenal banyak tentang kami.
BUDI BERJALAN KE TONG SAMPAH. MELIHAT TAS, BUDI MENGAMBILNYA.
TERORIS:
[KEPADA BUDI].
Jangan diambil!
[MENDEKATI BUDI].
BUDI:
[MEMBUKA TAS].
Bom. Mbak, bom.
TERORIS:
Bukan, ini sampah.
BUDI:
Menjauh, Mbak. Bom, ada bom.
TERORIS:
Ini sampah, sampah bekas.
BUDI:
Bom, Mbak, bom.
[BUDI PERGI].
LASTRI:
Perumpamaanmu terlanjur membuat saya marah, Lelaki.
TERORIS:
Perumpamaan apa? Ini sampah beneran.
LASTRI:
Sampah atau apapun yang kamu bawa, saya tak peduli.
TERORIS:
Kalau kamu tak percaya….., saya bukan…
LASTRI:
Pekerjaanmu lebih tidak manusiawi, silakan teruskan. Saya tak akan menghalangimu. Saya cuma akan….
TERORIS:
[KERAS].
Dengar, saya kira ini hanya perlakuan yang wajar.
LASTRI:
Wajar bagi orang seperti kamu. Memangnya kewajaran dapat ditemukan di tong sampah?
TERORIS:
Sudahlah, sekarang apa mau kamu?
LASTRI:
[TERIAK].
T..e..r..o..r..i..s.
TERORIS:
Diam!
LASTRI:
Kenapa? Takut?! Takut orang-orang akan mengroyokmu?
TERORIS:
Takut pada siapa? Awas. Sekali lagi kamu teriak, akan…
LASTRI:
Te…ro…[ng]*
*-[NG]- KALIMATNYA BERUBAH KARENA MULUT LASTRI DIBUNGKAM OLEH TERORIS.
BIDAN KELUAR.
BIDAN:
Ada apa, kok ribut?
TERORIS:
Ini, Bu, dia tadi membuang bayinya di tong sampah itu. Lalu saya menemukannya. Dan saya berikan lagi padanya. Tapi dia tidak mau.
LASTRI:
[MULUTNYA MASIH DIBUNGKAM].
Bohong, Bu. Dia…
TERORIS:
Kalau Ibu tak percaya, itu bayinya.
BIDAN:
Kenapa, Ibu membuang bayinya? Biar saya yang merawatnya.
LASTRI:
Yang saya harapkan…
TERORIS:
Ibu, tidak perlu repot-repot. Biar dia saja yang merawatnya.
BIDAN:
Kamu jangan ikut campur, Mas, bagaimana, Mbak?
TERORIS:
Bagaimana apanya? Jelas dia tidak mau.
BIDAN:
Keputusan ini bukan di pihakmu.
LASTRI:
Kalau ibu menginginkan…
TERORIS:
[MENYAHUT. DILAGUKAN].
Maka, tidak saya berikan.
LASTRI:
Diam, kamu.
BIDAN:
Mas, kamu memang sebaiknya tidak ikut campur urusan kami.
TERORIS:
Kami yang mana? Kamu, dia, juga saya yang kamu maksud-kan?
TERORIS:
[KEPADA LASTRI].
Percayalah, kamu akan menyesal kalau saja sampai memberikan padanya.
LASTRI:
Kenapa saya harus menyesal, kalau yang saya harapkan tercapai.
BIDAN:
Kasus seperti ini sudah banyak yang mengalami. Biasanya memang langsung diserahkan kepada yang ahli.
TERORIS:
Ahli apa?
LASTRI:
Tadi, saya sudah datang ke situ, Bu. Tapi, ibu yang ada di depan mengusir saya.
TERORIS:
Nah…
BIDAN:
[MENYAHUT].
Barangkali, Mbak salah pengertian. Selama ini, kami mengunggulkan dan menjaga pelayanan. Tidak mungkin, kami mengusir pasien. Mana ada Rumah Bersalin seperti itu? Apalagi Rumah Bersalin kami. Sudahlah, yang penting sekarang bagaimana?
LASTRI:
Tapi benar, Bu. Saya tadi…..
BIDAN:
Iya…, Mbak hanya salah paham.
TERORIS:
Kamu yang salah paham. Rumah bersalin seperti itu diandalkan. Ada apanya?
BIDAN:
Ada apanya bagaimana? Sudah jelas kami melayani orang hamil, menerima penampungan bayi. Nasib bayi ini bakal terjamin. Saya akan menjadikannya seorang laki-laki tegar, diasuh tangan-tangan ahli. Kalau Mbak yang merawat, bayangkan saja betapa repotnya. Mbak harus bangun dini hari, menggantikan popoknya, apalagi setelah dia beranjak dewasa, biasanya anak zaman sekarang berani dengan ibunya.
TERORIS:
Ketakutanmu jangan ditakutkan, nanti malah menakutkan. Darahmu akan mengajarkannya menjadi lelaki tegar.
LASTRI:
Cukup, kalian malah memperburuk keadaan saya. Berikan saya cukup waktu untuk memempertimbangkannya.
BIDAN:
Kami akan memberi imbalannya. Berapapun yang Mbak inginkan.
TERORIS:
Selama anakmu masih merasa tenang berada di pelukanmu, jangan sekali-kali melepaskannya.
BIDAN:
Ingat, Mbak. Pertimbangkan itu.
[MELANGKAH MASUK].
TERORIS:
Biasanya, keadaan dan situasi seperti ini mudah dihasut. Kalau kamu tidak berani mengambil sikap, maka biarkan saya yang memutuskannya.
BIDAN:
[KEPADA LASTRI].
Ini penawaran terakhir, putuskan segera, saya akan mengambilkan uangnya.
LASTRI DUDUK LEMAS LANTARAN BINGUNG. TERORIS MENGAMBIL BIOLA DARI DALAM TASNYA LALU MEMAINKANNYA. LASTRI TERHANYUT DAN TAMBAH DEPRESI.
LASTRI:
[TERIAK].
Hentikan! Kenapa kamu selalu membikin kericuhan ketika saya sedang dalam masalah besar?
TERORIS:
Lalu, kamu ingin saya menemanimu terlelap bersama kebodohanmu, begitu?
DARI DALAM, YU NING MEMBAWA BIDAN DAN RESEPSIONIS KELUAR. TANGANNYA DIBORGOL.
TERORIS:
Ada apa, Bu? Kenapa mereka?
YU NING:
Mereka terlibat kasus penjualan bayi. Juga di sini terjadi praktek aborsi. Saya seorang Polwan yang menyamar. Selamat malam.
YU NING MENGGELANDANG KEDUANYA.
TERORIS:
Lihat, sekarang berikan saja anakmu padanya. Ayo, apa yang akan kamu lakukan?
LASTRI:
Bu! Ada te…
[DIBUNGKAM OLEH TERORIS]

YU NING:
[MENOLEH].
Ada yang bisa…
TERORIS:
Oh, tidak, Bu. Bercanda. Awas kamu kalau berani. Kita akan sama-sama dipenjara.
LASTRI:
Dasar penakut.
[MELANGKAH PERGI].
DIKEJAR TERORIS. LAMPU MATI.
SELESAI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater "Koran"

Khalil Gibran