Makna Kehidupan Dalam Lir-Ilir

Bisakah luka yang teramat dalam ini nanti akan sembuh?
Bisakah kekecewaan bahkan keputusasaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini pada akhirnya nanti akan kikis? Adakah kemungkinan kita akan bisa merangkak naik ke bumi dari jurang yang teramat curam dan dalam? Akankah api akan berkobar-korbar lagi? Apakah asap akan membubung lagi dan memenuhi angkasa tanah air? Akankah kita semua akan bertabrakan lagi satu sama lain? Jarah-menjarah satu sama lain dengan pengorbanan yang tidak akan terkirakan?

Adakah kemungkinan kita tahu apa yang sebenarnya sedang kita jalani?
Bersediakah kita sebenarnya untuk tahu persis apa sesungguhnya yang kita cari? Cakrawala yang manakah yang menjadi tujuan sebenarnya dari langkah-langkah kita? Pernahkah kita bertanya bagaimana cara melangkah yang benar? Pernahkah kita mencoba menyesali hal-hal yang barangkali memang perlu disesali dari perilaku-perilaku kita yang kemarin? Bisakah kita menumbuhkan kerendahan hati dibalik kebanggaan-kebanggaan kita?

Masih tersediakah ruang di dalam dada kita dan akal kepala kita untuk sesekali berkata pada diri sendiri bahwa yang bersalah bukan hanya mereka? Bahwa yang melakukan dosa bukan hanya ia, tetapi juga kita?

Masih tersediakah peluang di dalam kerendahan hati kita untuk mencari apapun saja yang kira-kira kita perlukan? Meskipun barangkali menyakitkan diri kita sendiri? Mencari hal-hal yang yang benar-benar kita butuhkan, agar supaya sakit kita ini benar-benar sembuh total. Sekurang-kurangnya dengan perasaan santai kepada diri sendiri untuk menyadari dengan sportif bahwa yang mesti disembuhkan itu nomor satu bukan yang diluar diri kita, tetapi di dalam diri kita. Yang perlu utama kita lakukan adalah penyembuhan diri yang kita yakini bahwa yang harus betul-betul disembuhkan justru adalah segala sesuatu yang berlaku di dalam hati dan akal pikiran kita.

Demikianlah penggalan kalimat Pembuka Syair Renungan Lir-ilir oleh Emha Ainun Najib. Syair yang diciptakan oleh jeng Sunan kalijaga, tembang lir-ilir, ya salah satu tembang yang populer dikalangan orang Jawa. Seharusnya kita menyadari mengenai tembang tersbut, mengenai makna yang tersirat dalam syair itu.
Lir-ilir, Lir-ilir,
Tandure wis sumilir,
Tak Ijo royo-royo
Tak sengguh penganten anyar.
Cah angon, cah angon,
Penekno blimbing kuwi,
Lunyu-lunyu penekno,
Kanggo mbasuh dodot iro.
Dodot iro, dodot iro,
Kumitir bedah ing pinggir,
Dondomana jlumatana,
Kanggo seba mengko sore.
Mumpung jembar kalangane,
Mumpung padang rembulane,
Yo surako, surak hayo

Dalam bukunya G Surya Alam “Wejangan Sunan Kalijaga”, tembang ‘Ilir-Ilir’ tersebut mengandung nasehat atau wejangan untuk menjadi seorang Muslim yang baik.
Secara Global makna yang tersirat dalam syair-syair tembang tersebut adalah ajakan untuk menindakkan rukun Islam dan berbuat kebaikan.
Lir-ilir baris pertama dari tembang tersebut adalah merupakan ungkapan ajakan yang dalam bahasa jawa berarti terbangun setelah tidur (ngilir). Yang dimaksud tidur disini adalah orang-orang yang belum masuk Islam. Maka syair lir-ilir diulang-ulang agar mereka terbangun dan tersadar dan menuju kepemikiran yang lebih segar (Masuk Islam).
Tandure Wus Sumilir, benih-benih sudah mulai tumbuh. Yaitu benih-benih iman yang sudah mulai tumbuh dalam hati mereka maka rawatlah benih-benih itu agar bersemi dan tumbuh dengan baik, karena saat benih itu tumbuh dengan baik maka akan mengeluarkan buah yang baik pula. Misalnya apabila benih tersebut dirawat dengan baik dan disirami dengan air jernih ( Istighfar, sholawat, membaca Qur’an dll) maka niscaya tumbuhan tersebut akan tumbuh dengan baik .
Tak ijo royo-royo, mengndung arti bahwa tumbuhan itu tumbuh dengan subur. Tidak terkena hama atau penyakit lainya dan sejuk dipandang. Hendaknya seorang muslim mempunyai sifat perilaku sopan, suka menolong, dan menyenangkan bagi orang lain.
Tak sengguh penganten anyar, lalu bermakna, bahwa pribadi yang baik dan sikap yang sopan, akan disenangi banyak orang. Karena itu, dirinya bagaikan sepasang pengantin baru yang disambut gembira oleh khalayak.
Oleh karena itu, orang yang senantiasa memupuk imannya dengan sikap dan perilaku yang baik, serta menjalankan ajaran Islam dengan sempurna, niscaya dirinya akan hidup berbahagia, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Agar iman tetap baik, tidak berbuat maksiat, mencuri, berzina, dan mabok, serta tumbuhan tetap tumbuh subur sehingga senantiasa berkembang (tak ijo royo-royo), dijauhi dari hama dan penyakit, maka si pemiliknya harus senantiasa memelihara dan merawatnya. Tumbuhan harus disirami dengan air, tanahnya diberi pupuk agar tumbuh subur, dan diberi penghilang hama dan penyakit. Begitu pula dengan iman, ia harus senantiasa dijaga, dipelihara dan dirawat dengan baik dengan perbuatan-perbuatan mulia, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa, berzikir, sedekah, zakat, dan membantu orang yang membutuhkan.
Makna yang dapat dipetik dari tembang Ilir-Ilir pada bait pertama ini adalah, hendaknya setiap pribadi muslim itu bangkit dari ‘tidurnya’. Lalu mengerjakan amal-amal saleh, agar iman dan Islamnya tumbuh subur, sehingga dirinya disenangi orang banyak.
Selanjutnya, pada bait kedua dari tembang ‘Ilir-Ilir’ tersebut mengandung makna yang sangat dalam bagi setiap muslim, dalam membentuk jiwa yang kuat, pemberani, tanpa kenal lelah dan putus asa. Sehingga akan membentuk pribadi-pribadi yang sabar, pantang menyerah demi sebuah cita-cita yang mulia.
Kata ‘Cah angon’ maknanya adalah wahai anak gembala. Disebutkan sebanyak dua kali, yaitu ‘cah angon, cah angon‘ menunjukkan adanya perintah yang harus dilaksanakan.
Apakah perintah yang dimaksud itu? ‘Penekno blimbing kuwi’, artinya panjatlah pohon belimbing itu. Karena kata tersebut menegaskan sebuah perintah, maka yang diperintah adalah seorang bawahan, yang kedudukannya lebih rendah dari yang memerintah. Makanya disebut kata ‘cah’ (nak, anak-anak). Kesannya adalah orang tua memerintahkan anaknya untuk memanjat pohon belimbing.
Kok pohon belimbing dan anak gembala? Maksudnya adalah, cah angon itu seorang anak gembala yang berarti manusia. Yang digembalakan adalah nafsunya dari hal-hal keduniawian. Sebab, nafsu itu bila tidak digembalakan (diarahkan) maka si gembala dapat terjerumus kedalam lubang yang berbahaya. Dirinya bisa melakukan perbuatan maksiat dengan bebas, karena tidak ada yang di-angon (gembalakan).
Lalu apa yang digembalakan? Itulah nafsunya tadi. Lunyu-lunyu penekno, kanggo mbasuh dodot iro. Kendati licin, tetap harus dipanjat, demi membersihkan ‘pakaian batin’ yang kotor. Maksudnya, walaupun perintah itu sulit dilalui, namun ia harus tetap melewati dengan melaksanakannya, demi sebuah cita-cita yang luhur dan mulia.
Mengapa pula Sunan Kalijaga memakai kata ‘Blimbing’ dalam tembangnya ini? Tentu maksudnya adalah rukun Islam harus ditegakkan. Buah belimbing memiliki lima sisi, yang masing-masing sisi itu dimaknai dengan syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji (bila mampu).
Maksud dari syair ini adalah setiap muslim hendaknya melakukan taubat yang sesungguhnya, mau memperbaiki kesalahannya sebagai bekal kehidupan di akhirat kelak.
Dalam bahasa Jawa, Dodot adalah ”ageman’ (pakaian) dalam menggambarkan agama atau kepercayaan yang dianut. Sedangkan kata Kimitir bedah ing pinggir’ artinya banyaknya robekan-robekan pada bagian tepi pakaian itu, hendaknya segera dijahit. Sebab, pakaian yang cacat dan rusak itu tentunya tidak pantas lagi untuk dipakai. Agar pantas digunakan lagi, maka perbaikilah.
Itulah makna dari Dondomana Jlumatana artinya, jahirlah bagian yang robek itu. Begitulah halnya dengan kepercayaan kita yang telah rusak, hendaknya kita bertobat dan mau memperbaiki kesalahan tersebut serta tidak mengulanginya lagi. Itulah yang dinamakan dengan taubat nasuha (taubat yang sesungguhnya).
Dengan demikian, segala perbuatan yang sudah kita perbaiki tujuannya adalah sebagai bekal kita di kehidupan akhirat kelak. Disinilah makna dari Kanggo seba mengko sore. Perjalanan manusia selama di dunia ini hanyalah sebagai persinggahan sementara. Awalnya dia berangkat, kemudian kembali. Pagi dia kerja, sore sudah kembali.
Jadi, perbuatan yang baik seperti shalat, zakat, puasa, haji, sedekah dan lain sebagainya itu, tujuannya adalah sebagai bekal umat Islam untuk di kehidupan akhirat.
Mumpung Padang Rembulane,
Mumpung Jembar kalangane.
Selagi masih ada waktu, bersegeralah memperbaiki diri. Mumpung terang sinar rembulannya, dan mumpung luas waktunya. Sebab, bila sudah malam hari tanpa sinar rembulan, maka orang tak akan dapat melihat apa-apa. Ini dimaksudkan, di saat gelap orang akan sulit membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Acapkali yang baik dijelekkan, dan yang jelek dibagus-baguskan.
Artinya, selagi masih muda, selagi sinar rembulan masih memancar, segeralah berbuat kebaikan, dan melaksanakan kewajiban yang telah diperintahkan. Waktu yang ada, jangan disia-siakan tanpa guna dan berlalu begitu saja tanpa hasil.
Bila semua itu bisa dilaksanakan dengan baik dan sempurna, maka bergembiralah. Yo surak o, sorak hayo. Sebab, segala kewajiban yang dilaksanakan dengan baik dan sempurna, maka kehidupan di akhirat nanti akan mendapatkan balasan yang baik pula. Karena itu, berbahagialah mereka yang mampu melaksanakan segala kewajiban dengan baik, tanpa cacat sedikit.
Demikianlah kiranya, makna terdalam dari tembang syair ‘Ilir-Ilir’ yang disyiarkan oleh Sunan Kalijaga sebagai pedoman bagi setiap muslim untuk mencapai kehidupan akhirat yang lebih baik.

“Pakaian adalah akhlaq, pakaian adalah yang menjadikan manusia bukan binatang. Kalau engkau tidak percaya berdirilah di depan pasar dan copotlah pakaianmu, maka engkau kehilangan segala macam harkatmu sebagai manusia. Pakaianlah yang membuat manusia bernama manusia. Pakaian adalah pegangan nilai, landasan moral dan sistem nilai. Sistem nilai itulah yang harus kita cuci”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater "Koran"

Khalil Gibran