Rindu

Terlintas sesekali dalam benak ku, ketika aku termenung sendiri. Rasa itu kembali datang, rasa rindu pada tempat dimana aku dibesarkan. Aku ingin pulang, setelah bertahun tahun aku tinggalkan kampung halaman ku. Namun, aku berfikir adakah jalan untuk ku kembali, dan apakah setelah aku kembali aku akan dimaafkan?
Bertahun tahun pikiran tuk kembali selalu mengusikku, akan tetapi baru saat itu, aku benar benar merasa sangat ingin kembali ke kampung di mana aku dilahirkan. Aku pun memutuskan untuk mencoba kembali pulang secepatnya, walau apapun yang terjadi dan apapun resikonya.
Aku sangat merindukan keluarga ku, kerabat ku, dan teman teman ku. Aku sangat ingin pulang, walau pun aku tahu saat aku kembali semuanya akan berubah.
Aku pun memikirkan ribuan cara bagaimana agar aku bisa pulang, akan tetapi banyak cara yang sudah aku lakukan namun tetap gagal. Akhirnya aku menyerahkan semuanya kepada yang kuasa. Beberapa bulan berlalu, harapan ku tak kunjung hilang, setiap malam aku berdoa dan meminta kepada yang kuasa agar aku dapat pulang.
Seteah sekian lam, do’aku didengar oleh yang Kuasa, aku pun mendapatkan jalan untuk ku kembali. Saat itu aku bertemu kerabat ku di sebuah mall, aku berbincang cukup lama dengan dengan dia. Dari pembicaraan ini aku mendapatkan nomor telepon adik ku.
Sesampainya di rumah aku secepatnya menghubungi nomor telepon yang diberikan oleh kerabat ku. Setelah beberapa kali aku mencoba namun belum ada jawaban dari nomor telepon yang aku tuju. Aku pun tidak menyerah, terus ku mencoba, namun tidak ada jawaban. Setelah hampir setengah jam aku mencoba, ada harapan untukku.
Cklgggg, suara telepon telah diangkat oleh seseorang di seberang sana.
“Halo, assalamualaikum.” Terdengar suara lelaki paruh baya mengangkat teleponku.
“Waalaikum salam, a….pa benar ini saudara Yusro?” dengan nada sedikit gugup aku berbicara.
“Ya. Benar ini Yusro ada apa ya?” Tanya lelaki itu.
“Yusro? Benar ini Yusro yang di Bandung kan?” lanjut ku.
“Iya, kamu benar, ada apa?” tanyanya kembali.
“Yusro ini bang Dirwan de,,, ini abangmu, kau ingat?”
“Bang Dirwan?? Benarkah??? Aku tidak percaya.” Ucap laki laki itu.
“Iya de, bener ini abangmu sayang…” jawab ku meyakinkan.
“Abang… aku kangen sama abang. Sudah lama kita tidak bertemu. Kenapa abang baru menghubungiku sekarang bang?? Kenapa??” teriak lelaki itu dengan nada sedikit rintih.
“Maafkan abang sayang, maaf… abang pun merindukanmu sama sepertimu” ucap ku sambil menangis.
“Bagaimana kabarmu bang? Apa semuanya baik? Ceritakan pada ku.” Pinta laki laki itu.
“Iya abang baik, abang juga sudah memiliki keluarga. Bagaimana denganmu?” tanya ku.
“Sama aku pun baik kapan abang pulang?”
“Maaf. Abang tidak tahu. Abang bimbang untuk pulang.”
“kenapa? Apa karena masalah yang dulu?”
“Ya, kau benar de.”
“Tenanglah bang. Kami sudah memaafkan abang dari dulu.”
“Apakah yang kau ucapkan itu benar?”
“tentu…”
“Jadi kapan abang pulang?”
“Secepatnya. Abang akan mencari uang agar abang bisa pulang dalam jangka waktu dekat.”
“Abang tidak perlu melakukan hal itu. Aku akan berikan tiketnya,lalu mengirimkan tiket secepatnya. Dan kami akan menjemputmu dibandara.”
“Terimakasih dek, terimakasih.”
Akhirnya pembicaraan mereka berdua berlanjut hingga malam tiba. Dua hari setelah itu, sebuah tiket sampai di depan kediaman ku. Dan tiga hari setelahnya aku pergi menuju tempat yang sangat ingin aku kunjungi, yaitu kampung halaman ku, di Bandung.
Sesampainya di bandara medan aku sangat terkejut dan haru karena aku tidak pernah menyangka kalau keluarga ku akan menyambut aku dengan hangat seperti itu. Tiba tiba air mata ku pun menetes, aku tidak pernah menyangka harapan bertemu keluarga ku kembali terwujud.
Dalam perjalanan menuju tempat aku dibesarkan, aku memadangi keadaan sekitar. “Banyak yang telah berubah saat ini.” Ucap ku.
Setelah dua jam dalam perjalanan, akhirnya aku pun sampai di rumah. Seluruh keluarga manyambut dengan sambutan hangat. Bahagia menyelimuti hati ku.
Sesampainya di gerbang rumah, aku melihat wanita tua yang menyambut dengan wajah bahagia, Wanita itu tak lain adalah ibu ku. Ibu yang selama ini aku kenal penyayang walau sangat tegas, kini telah tua dan renta. Wanita itu sangat bahagia menyambut kedatangan ku, yang dikiranya telah hilang dan tidak akan pernah kembali.
Setelah aku melihat ibu, aku langsung menghampiri dan memeluknya erat-erat. Air mataku pun menetes ke pundak ibu.
“I..bu… maafkan aku bu.. maaf…” ucap ku dengan terbata bata.
“Ibu telah memafkanmu nak…” ucap ibu sambil menangis.
Akhirnya setelah perjalan yang panjang, aku dapat bertemu keluarga kembali. Setalah bercengkrama cukup lama dengan semua keluarga aku pun pergi ke kamar , kamar yang pernah aku tinggalkan bertahun tahun.
Saat disana aku pergi mengunjungi berbagai tempat, tidak terasa sudah hampir dua bulan aku berada jauh dari Jakarta, dan akhirnya harus kembali ke Jakarta. Aku sangat sedih ketika ingin kembali ke Jakarta, namun itu harus aku lakukan.
Sesampainya di Jakarta aku menceritakan semuanya kepada anak dan istriku. Setelah satu minggu kepulangan ku, aku mandapatkan kabar buruk, bahwa ibu ku telah meninggal. Betapa hancur hati ku, namun aku harus merelakan kepergianya. dan aku hanya bisa berdoa kepada yang kuasa agar amal dan ibadahnya dapat diterima olek Allah SWT.[nok tiara]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater "Koran"

Zaman Edannya Serat Kalatidha

Profil Teater Metafisis