Dokumentasi Puisi "Sajak Purnama" #1



Janji Senja
Saddam el Hanif
Aku menunggu kalian ditepi jalan di depan gedung sang jalang
Sore tadi janji itu kita sepakati dengan hati yang tak hirau
Tak satupun dari kalian yang menghampiri kekosongan
Tak sejengkalpun langkah kalian terdengar meski samar-samar
Haruskahku layangkan surat dengan lampiran kegundahanku
Haruskah angin ku repotkan dengan titipan kabar
Tidak,
Kurasa semuanya terdengar
Bahkan janji disenja tadi masih terngiang
Kuyakin kalian kan datang
Entah sedang dalam perjalanan
Entah masih asyik dengan hidangan
Entah juga sedang termenung menghadap bintang terang
Kubuka saja lembar-lembar cerita cinta
Aku tatap jendela yang terbuka sehelai cinta
Kudengar sayup-sayup detak langkah mendekat
Semakin jelas dan memperjelas
Kutatap arah langkah yang terdengar sedang marah
Harapku sangat besar tentang kalian
Ketika kulihat segerombolan mata itu
Terlihat orang-orang tak satupun ku kenal
Aku kecewe, aku terluka
Namun segera terobati dengan datangnya dua kepala yang menyapa
Yang langkahnya tak disadari telingaku
Dan diikuti beberapa nama yang datang dengan senyum canda
Kita pun berkeliling dan bercerita
Tentang sebuah kisah-kisah mata yang terbuta dan telinga yang tertuli
Dan kita pun terhanyut dalam kisah dan canda bersama...

Inilah Damai
Saddam el Hanif
Inilah merdeka
Bukan lagi soal perubahan
Bukan lagi soal revolusi
Bukan legi soal cerita lama yang dibuka
Bukan lagi soal memmupuk jutaan masa depan
Atau tentang mimpi yang terwujud dengan cepat
Atau apalagi yang ada dibenak mereka tentang kemerdekaan
Inilah merdeka
Bukan saat mampu bergerak bebas atau berkata lepas tanpa batas
Inilah merdeka
Bukan ketika semua mampu tertawa
Atau ketika sudah tak ada lagi air mata
Inilah merdeka
Tak seperti mimpi para penyair negeri atupun
Mimpi budayawan yang terus berdiam diri
Inilah merdeka
Bukan karena air tak lagi ada dijalan-jalan
Atau sudah tak ada lagi bencana yang dikhawatirkan
Inilah merdeka
Bukan lagi saat siang mampu berjalan tanpa gangguan
Atau saat malam mampu terlelap dalam gelap
Inilah merdeka
Saat damai menyelimuti ruang-ruang sepi dalam hati
Tanpa tapi ataupun atau
Inilah merdeka
Katika senyum wanitaku tu mengukur pagiku
Ketika wangi wanitaku tercium dipojok-pojok bendera
Inilah merdeka ketika tangan wanita membelai setiap luka anak bangsa
Ketika tutur sapanye mendamaikan setiap gelisah pejuang perang
Inilah merdeka
Inilah damai
Bersama mu
Bersama engkau yang kusebut kasihku

Pertemuan Semu
Saddam el Hanif
Yang kutemui
Kaum komunis yang mengemis harta dengan sok sosialis
Yang kutemui
Kaum agamis yang menjual agama dengan sok berwibawa
Yang kutemui
Kaum demokratis yang egois dengan sok bijaksana
Yang kutemui
Kaum ploretar yang kapitalis dengan sok kelaparan
Yang kutemui
Kaum nasionalis yang merusak negara dengan sok patriotis
Yang kutemui
Kaum mahasiswa yang membodohi diri dengan sok kritis
Yang kutemui
Kaum jurnalis yang meracuni kabar dengan sok idealis
Yang kutemui
Kaum penulis yang meracuni otak dengan sok puitis
Yang kutemui
Kemunafikan yang dibiasakan
Yang kutemui
Kebenaran yang membusuk dipojokan dapur
Sebenarnya aku tak pernah bertemu siapa atau apa
Sebenarnya mataku buta dan telingaku tuli
Sebenarnya aku tak pernah benar
Sebenarnya aku hanya diam
Semarang, 31 Januari 2014

Tentang Pagi
Saddam el Hanif
Apa kau sepuitis dulu?
Menggerakan bibirmu dengan anggun
Dan menggenggam taganu dengan lembut
Tapi erat
Atau memaksaku makan dengan tatap
Matamu yang mendamaikan
Tentu kau tahu dimana kini aku berdiri
Menyiapkan saji untuk sesembahan Sang Hyang Widi
Dan menuliskan mantra tentang harga diri yang tak berarti
Atau membaca bait-bait suci milik pangeran bumi
Melihat aktifis kencing berdiri
Banyak diantara mereka yang kini lebih suka mendzolimi diri sendiri
Tak lagi tertarik mencari esensi pribadi
Menikmati gerak aneh menikmati kebanggan pribadi

Aku muak berada disini
Setiap hari harus mencium parfum-parfum kemunafikan
yang harumnya alami
Berdiam diri adalah satu jalan pasti
Dan akhirnya gila sendiri

Aku ingin terlelap diantara dua sajakmu yang bersebrangan kasih
Bercerita tentang bintang dan pelangi
Dan tentang malam-malam yang menyembunyikan misteri
Juga tentang tujuan nafas yang tak pernah kita mengerti

Aku bukan agamawan yang baik hati
Aku juga bukan nasionalis yang punya jiwa patriotis
Aku hanya pemujamu yang suka iri hati
Juga penghujatmu yang lupa diri

Aku ingi seperti sebatang lisang yang dihimpit kedua jari
Memberanikan diri berdiri diantara tumpukan duri

Namun,
Jika aku lelah nanti
Berikan lenganmu tuk ku bersandar dari pergilakan hati
Berikan pangkuanmu tuk ku terpejam, dan
Sejenak melupakan semua penat

Sayangku,
Aku tak mungkin
Aku menggulingkan tiran tantamu

Tetaplah disini, menantiku kembali
Membawa rindu yang menggema


Seribu Lampu
Fiqoya Rin Saputri
Indah...... Syahdu........
Ya, pesonamu selalu menghanyutkan disetiap malamku...
Menghapus semua debu bersama angin malam mu...

....... kerlap kerlip .......
Warna warni

Tak pernah bosan memandangimu
Izinkan aku mengambil satu
Warna dari sinarmu
Untuk kuabadikan dimata seorang yang dekat denganku
Agar tak ada lagi gelap disetiap pandanganku
Cahayamu mendamaikanku

Gelap
Fiqoya Rin Saputri
Senandung rindu bersama malam
Yang menghanyutkanku
        ...Ruangku kosong...
...Ruangku gelap...
Tak ada secercah cahaya dipandanganku
Bulanku hilang tertutup awan hitam mu
        ...Gelap...
        ...Gelap...
        ...Gelap...
Entah mengapa semua cahaya menghindariku
Rinduku menyatu bersama cahaya itu
Damai bersama seribu lampu


Tak Tertuju
Yudi W.
Tes . . .  Tes . . .
Tes . . .  Tes . . . Tes . . .
Tetes satu . . .  Tetes satu . . .
Tetes dua . . . Tetes dua . . .
Tetes tiga, empat, lima dan seribu tetes bersamaan
Jatuh terus dan terus jatuh
Menutupi cahaya terang digantikan awan hitam
Membasahi hijaunya daun muda dan tuanya daun
Dahi kuletakkan diatas tangan kiriku
Pandangan tertuju keluar
Walaupun terhalang sekat bening didepanku
Pandangan sayupku lama namun tak terlelap
Dikepala sosok bayang memenuhi lingkar kepala
Menembus bayang,
Mengenali sosok
Memandang dan seakan tak tertuju
Diatas lamunan

­­­­­­­­­­­Pertanyaan Cinta
Yudi W.
Debu cinta bertebaran
Virus Romantis mewabah
Rayuan-rayuan menjadi senjata ampuh
Pengorbanan menjadi salah satu syarat
Pengekuan menjadi hal yang paling dicari
Wajah gelisah dengan segudang tanda tanya
Disodorkan kepada setiap pasangan
Mata tajam dan mulut tak lagi terdiam
Apa sih artinya cinta untukmu?
Apa sih artinya aku buatmu?
Apa kamu serius cinta aku?
Apa kau benar-benar cinta padaku?
Sampai kapan?
Katakan padaku kalau kau cinta
Dan... bla.... bla.... bla....

KAU
Anggid Ferrant
Aku susah...........
Rasa peduli yang didamba
Tak adanya keadilan yang diumbar dari mulut berisiknya
Mana?
Pantaskah itu?

Bercerminlah pada hati yang membisikimu
Pada segumpal otak yang selalu menemani memorimu
Tentang persepsi yang terkadang membuatmu bak artis terkenal
Tentang air mata yang terkadang membuatku tertipu
Samakah dengan kenyataan itu?

Aku terlalu lelah.......
Menusia-manusia itupun terlalu lelah menyangga setiap inci hatinya
Terlalu rapuh dengan kekuatan ombak yang kau sodorkan
Kucuran penyadaran bagaimana lagi yang dapat menusuk hatimu?
Yang dapat mengganggu tidur manismu?
Dengan hal yang tak pernah kau tinggalkan?

Tak sadarkan jika lakumu yang seperti itu, ucapanmu yang seperti itu,
Membuatmu terlihat benar-benar tidak peduli?
Peduli setan dengan apa yang kau mau !!

Jika kaulah yang sellau berlomba-lomba untuk mempedulikan hal yang kau anggap bukan duniamu
Peduli setan dengan tangisanmu !!
Jika kaulah yang berlomba-lomba tuk menipuku dengan bakat aktingmu

Aku tak ingin berkata apapun dan pada siapapun sekarang
Termasuk kau !!
Aku tak ingin mendengar apapun dan siapapun sekarang
Termasuk kau!!

Dan aku tak ingin melihat apapun dan siapapun sekarang
Juga terbmasuk kau!!!!!

Semarang, 14 Desember 2014

Aku Harus Bagaimana
Hani L. Sya.
Aku pikir
Mereka menyukaiku
Menatap sayu penuh kesejukan
Senyum lembut, senja hari
Aku pikir
Mereka sayang padaku
Menyentuh lembut tubuh ini
Menjagaku tetap indah diantara mata yang lain
Aku pikir
Mereka cinta padaku
Tak mau lepas dariku
Tak mau jauh dariku
Selalu bersandar padaku

Aku tersadar
Aku salah menyangka
Mereka hanya manusia, sang makhluk “Egois”
Tak mempedulikanku
Manusia yang hanya peduli pada nafsu dan kepuasan pribadinya

Kami yang menghias taman tetap indah
Sedangkan mereka dibelantara, habis sudah
Kelakuanmu menyakiti, bahkan membunuh kami
Jejak korbanmu mengganggu kami

Adakah diantara kalian yang masih pedulikan kami?
Pepohonan di muka bumi

Orang Itu Aku
Mughice
Seorang pengemis tua
Jujur melantunkan nyanyiannya
Entah sumbang atau entah tak bernada
Ia hanya coba menghibur hatinya
Ia hanya ingin sedikit dan sebentar saja hagia

Seorang pengemis tuapolos berdendang
Sedang peri-peri terus berlalu lalang beterbangan tanpa memperhatikan
Pengemis tua itu.........
Tetap berdendang
Ia hanya ingin sebentar saja bahagia

Seorang pengemis tua
Mulai parau suaranya
Gemetar dan terputus-putus oleh batuknya
Ia tetap bernyanyi
Ia hanya ingin sebentar saja bahagia

Seorang pengemis tua
Tak terdengar lagi lagu-lagunya
Dan tak seorangpun bertanya-tanya
Kemana ia?
Tak seorangpun merindunya
Tak seorangpun merasa ada yang kurang

Seorang pengemis tua
Tergeletak mati dikerumuni lalat
Tak seorangpun yang kehilangan
Tak ada iba atau simpati

Seorang pengemis tua
Beristirahat dengan tenang
Dan jasadnya kotor, lusuh berbau busuk
Semua orang berpaling dan menutup hidung

Seorang pengemis tua
Jangan lagi berair mata
Tidurlah
Tidurlah
Yang lelap
Tanpa harus bermimpi indah
12 Desember 2014


Pagi, Sebatang Rokok
Dan Secangkir Kopi
Mughice
Pagi..
Sebatang rokok
Secangkir kopi
Pegi...
Tanpa sebatang rokok
Tanpa secangkir kopi
Pagi...
Dan tulisan tentang sebatang rokok
Dan tulisan tentang secangkir kopi
Pagi...
Akan tetap datang kembali
Berapa kalipun malam mencoba gelapkan hari
Pagi...
Dan kekasih yang menyapa pagi
Dan teman-teman berkata kemana kita hari ini...
Dan sebatang rokok
Dan secangkir kopi
Pagi...
Yang berhenti cerita tentang sejarah lama
Dan mulai mengukir sejarahnya sendiri
Bersama sebatang rokok
Dan secangkir kopi
Pagi...,
Pagi...,
Berhenti bersembunyi
Dari balik bilik yang membolak balik rada panik
Dari tawaran penawar pahit, manis, jetir, dan tawar
Pagi...,
Pria kecil duduk tertunduk dengan kaki tertekuk diantara
runcing dunia yang bertanduk
bencana terjadi malam tadi
hingga rokok melejit naik tinggi
pagi...,
bagaimana dengan harga secangkir kopi ?
mungkin sebentar lagi,
pagi...
kini kosong tanpa inspirasi
jari para musisi lumpuh untuk sekedar bernada
mulut penyair bisu untuk berpuisi
kuas pelukis tumpul dan cat-cat mengering
pagi sebatang rokok dan secangkir kopi
telah terjadi bencana malam tadi
pagi...
Semarang, 8 Desember 2014

Surat Cinta
Mughice
mungkin jika aku awali surat ini dengan doa, kau dan orang-orang di luar sana tak akan percaya.
biarlah tulisan ini mengalir apa adanya.
tanpa ada yang di hilangkan.
tanpa ada yang di tutupi.
tanpa ada yang di lebihkan
Andai kau istri ku.
Rama tak akan sudi berperang untuk merebutmu dari dekapan ku.
jika kau istri ku.
kau akan sadar hanya aku yang mencintaimu dengan cinta sebegitu besarnya.
Rama tak akan berani melirik apa lagi mendekatimu.
sebab ia tak pernah tau dan merasa apa itu cinta
Sedang aku...
meski aku tau kau istri rama.
karna cinta aku menculikmu dirinya.
karna cinta aku pertaruhkan nyawaku berperang denganya.
karna cinta aku tak peduli sejarah akan menghujat ku dan menganggap aku...
entahlah
Tapi sinta, andai kau istri ku.
dunia pewayangan akan semakin di anggap fiktif.
apa lagi jika di kisahkan bahwa kau mencintai ku karena melihat dan merasakan cinta yang begitu besar dari dalam hati ku tumbuh untuk mu
Karena tak ada cinta yang tumbuh karena di cinta.
karena tak ada cinta yang tak memandang rupa.
karena cinta punya selera.
karena kebutaan dan ketulian serta kebodohan yang bercmpur denga congkak juga kemunafikan yang membuat makna dari cinta itu biasa.
Karena kau bukan istri ku...
kau dan semuanya menghujat ku karena aku salah aku telah menculikmu.
karena kau bukan istriku...
kau dan semuanya memuja sosok yang mengorbankan banyak nyawa yang padahal tak brdosa agar kau tetap hidup.
Karena tak ada cinta yang tak memandang rupa.
karena cinta punya selera.
Tapi sinta, karena kau bukan istri ku.
akan aku akhiri surat ini dengan doa.
Tuhan...aku tak rela jika cinta yang telah kau bangun dengan begitu megah ini kau angkat kmbali.
maka tuhan...kembalikan makna dari cinta yang sempat terluka parah it.
Tumbuhkan cinta dalam hati bidadari sinta untuk raksasa rahwana buruk rupa yg teramat mncintainya.
agar cinta kembali tak lagi memandang rupa.
agar cinta kembali tak berselera.

Nostalgia
Mughice
aku ingin kita kembali ke masa kecil dulu.
kita berlarian bersama untuk menangkap kupu-kupu yang entah untuk apa.
romantis...
hanya itu kalimat yang tepat untuk menggambarkanya.
Aku ingin kembali ke masa itu.
bak tentara perang kita merayap berburu jangkrik untk kita pelihara dan kmudian kita adu.
seru...
hanya itu yang terkenang.
Aku ingn kembali seperti  kita  waktu itu.
sssttt...jangan keras-keras.
kita mngendap-endap nyolong mangga tetangga.
gila...
hanya itu
Kini...stiap hari ku ketuk pintu rumahmu tapi kau selalu bilang kau ada janji dengan kekasihmu.
kini setiap sore ku panggil namamu tapi kau terlalu sibuk dengan tugas dari dosen-dosenmu.
kini hampir setiap saat ku datangi kau tapi kau tetap tak ada waktu.
dan aku kembali pulang menundukan kepala.
Aku bilang aku mampu.
tapi entah kenapa aku menangis.
Aku terdiam.
menyaksikan setiap pagi kau pergi ke kantor-kantor mu, pabrik-pabrik mu, ruko-ruko mu, kampus-kampus mu untuk di tindas.
dan aq marah!
dan kau memarahiku.
Aku tak basia diam saat siangnya kau kotori sungai tmpat biasa qt mnangkap ikan.
kau gusur tempat biasa kita mengejar kupu-kupu.
kau enyahkan tempat dimana kita berburu jangkrik dulu.
kau tebang pohon-pohon mangga tetangga yg pernah kita cloong bersama.
dan aku marah!
dan kau memarahiku.
Aku kembali diam.
saat sore tiba matamu lurus menatap handphone-handphone canggihmu.
kadang kau tampak kesal, kadang kau tersenyum.
persis..., seperti...,
lelaki kotor yangg pernah kita tepoki dulu sepulang sekolah.
Aku fikir ku bisa.
tapi ternyata aku menangis.
Anggaplah Semarang,19 Januari 2015


GIGI
Gozst_Lie Mezsthi
Kau datang membawa senyuman
Penuh kepercayaan diri yang kau tanam
Mereka serontak tertawa berdahak-dahak
Sampai gigi gusi pada keluar

Kedatanganmu itu hanya biasa saja
seolah-olah jadi pusat perhatian
Jadi bahan bakar
tuk membakar tubuhnya
Sabtu, 20 Desember 2014

Tombak
Gozst_Lie Mezthi
Hari ini adalah hari banjir
Sang supir rumah pergi
Mobil dan penumpang ia tinggalkan
Tak ada pesan singkat yang ia tinggalkan
Hanya dalam mata terpejam
Ia kerap datang
Tapi penuh dengan simbol-simbol

Saat ia ada
Ia selalu dipegang tombaknya
Menjadi kompas hidup
Pengendali jalan
Itu semua tak pernah goyah diterpa angin

sekarang tombak itu
Dengan spontanitas berpindah haluan
Membelok dengan sendirinya
Itupun masih ada
Rasa keraguan yang menghalanginya
Dan merekapun tak tahu
Hanya Sang penciptalah yang tahu

Sabtu, 20 Desember 2014

Penghambaan
Waank
Yaa Amiral ‘abdik
Kupasrahkan jiwa ini hanya kepada-Mu
Denganku mengangkatkan kedua sisi tanganku
Layaknya tentara militer yang kalah dalam medan perang
Ketika ia kehabisan amunisi, kehilangan arah strategi
lalu ia tidak sanggup berbuat apapun hingga ia mengangkat kedua sisi tangan tanda ketidak mampuan dan kalah
aku seorang hambapun demikian, aku kalah dihadapan-Mu,
aku tidak dapat berbuat apapun, tak ada amunisi, tak ada strategi, untuk mengalahkan-Mu
aku hanya merundukan kepala dan merundukan kedua belah tangan
seraya bibir dan hati melafalkan takbir pengagungan terhadap-Mu
ALLAHU AKBAR betapa agungnya Kau yang tak terukurkan,
Tak ada alat statis yang membuat geosiometris dalam satu sudut sisi yang sama. Metodologi yang dibuahkan oleh ilmuan soal Matematikapun tak mampu mengukur keagungan-Mu
Karena keagungan-Mu tidak hanya berpacu pada nama-Mu, tapi semua yang ada dalam jagat raya.

Ya Amiral Abdik
Kulantunkan al-fatihah dan surah karya sastra terbaik-Mu,
Mengalihkan kegelapan menjadi cahaya terang dalam setiap do’a
Ku ruku’kan tubuhku dengan wajah menghadap asal usulku atas karunia-Mu
Ku sujudkan tubuh ini merintih, mengangis membuang setiap kekhilafan yang tak Kau suka sampai Kau membuat murka.
Kembali kusucikan dan kuagungkan namaMu di dalam sujudku
Di dalam sujud aku merasa ihsan yang sangat dalam mengikat pada ruhani
Aku merasa betapa dekat dihadapan-Mu, kecintaan yang amat dalam terasa.

Yaa Amiral ‘Abdik
Jadikanlah setiap penghambaanku ini dapat menjadikan kesucian dalam jiwa dan ruhaniku
Jadikanlah setiap takbiratul ihramku dapat membesarkan cintaku kepada-Mu
Jadikanlah setiap do’a dalam fatihahku dapat membuka hati ini agar senantiasa menerima cinta-Mu
Jadikanlah setiap pembungkukan ruku’ku dapat mengingatkanku bahwa aku ini siapa, aku ini berasal dari mana
Jadikanlah setiap lafal i’tidalku dapat selalu kudengarkan nama-Mu
Jadikanlah setiap sujudku selalu dekat dengan-Mu berasa tepat didepan-Mu,
Kita dekat aku dekap kasih sayang-Mu Yaa DzalQuwwah
Jadikanlah setiap do’a dalam bersimpuhku terampunkan segala khilafku
Terahmati segala lalu lampahku
Diluaskan segala apa yang ada dalam hadapku,
Terangkatkan derajatku disisimu Yaa Matin
Terlimpahkan rizki yang amat melimpah tak membuatku kafir
Mendapatkan petunjuk jalan menuju cinta-Mu Ya Khalilarrahman

Rindu Redam
Cherie Mimut
Terbesut mata angin diujung langit biru
Membentang kosong menatap laku kecilmu
Inginkan pulamg pada titik embung beku?
Atau kobar api kasih berpeluh haru?

Diatas asa kurajut benang cinta
Dengan anugerah terjaga sayang melanda
Meski bulir mata tak luput berganti darah
Tuhan tahu bukan dusta tertimbun lembah

Aahh... rindu redam sakitku penuh
Tanpa rengkuhmu jatuh lelah bersimpuh
Kapan pulang, hati ini radang melepuh
Walau terlarang biar saja daku berlabuh


Pun Mati
Cherie Mimut
Hati rebah melingkar jatuh terinjak
Berselimut hina, darah dan air mata jiwa
Membengkak letih tertabur perih garam cerca
Satu bungkam mewakili berjuta koreng nanah
Menjeritpun tak berdaya kembali berbusa
Suara tertelan vakum ruang semesta
Bising disana menyayat sepi yang terkapar.... perih....
Bahagia bualan canda bersemu fana
Berkembang kuncup bingkai tercium .... wangi...
Lumpuh rasa tak sanggup bermekaran ... busuk ...
Ujung sana tak ada tepi menanti mati
Tak berakhir walau dunia mengharu sunyi
Pekat awa membumbung ejek burung kenari
Mencuat rindu redam kecamuk direlung hari membiru
Gugur seribu cahaya ditelan gelap bersemi
Membeku dingin bersama ratapan misteri


Tanpa Kata
Ridwan

Angin semilir menerpa tubuh ini
Mencoba melangkah malam tak pekduli
Oleh mata buta dan tuli telinga
Mata sayu memandang jalan kehidupan
Yang entah nyata atau bayang-bayang
Cucuran peluh menjadi bukti
Akan kerasnya  jalan yang begitu terjal
Dan harus dilalui
Disaksikan oleh snag bagaskara tiap hari
Makin menyeringai senyumnya
Membakar hati
Menyayak kulit
Aku tak peduli
Ini jalanku
Yang menghadang libas !

½ Nyawa
Ridwan
Atap, asbes,
Ventilasi, sudah ada sinar memasuki
Ruang, kuning
Diding penuh warna
Ada wajah wanita disitu, ia ingin berkata tapi ia memilih untuk diam
Sarung
Tikar, bantal
Kipas angin
Yang lain masih berfantasi
Barang-barang yang berserakan
Figura tumpang tindih dan berdebu
Lemari digelantungi pakaian seperti monyet-monyet didahan pohon
HP! Dimana Hp ku!
Jam !? jam berapa ini ?!
Ah, 06:30, dan kuteruskan sisa-sisa mimpiku

ENTAH
: untuk Marsinah
Jika kau tanya padaku tentang wanita
Aku tak tahu harus mengatakan apa tentangnya
Yang kutahu hanya detik yang terus berdetak
Nafas yang terus memompa keras
Kepak yang terus menolak masa
Rasa yang harus membara

Mungkin kau sudah lupa
Atau memang enggan mengingat tentangnya

Tentang seorang bersuci
Dengan darah terkoyak
Diantara tengah
Beribadah dengan lebam
Disekujur  tubuh keruh
Bersua karena kaum
Teraniaya diujung timur pulau jawa

Benar-benar
Ia tak lagi bernafas
Tapi bukan
Karena mati
Ia tak berkedip
Bukan tidur
Ia tak bergerak
Karena ia lumpuh

Tapi
Ia akan
Terus hidup
Dihati para wanita
Dibenak para
Buruh
Didada
Bangsa Indonesia

QOF
Jika malam begitu kelabu
Tapi lebih tepat begitu syahdu
Jika ia begitu syahdu
Kata malam begitu kelabu

Ia terlihat begitu merindu
Rindu di jemu hingga jarak
Jemu memburu begitu merdu
Begitu resah bertalu-talu

Seperti qof dengan qof
Seperti nadi dengan hati
Seperti mata dengan raga
Semakin jauh semakin dekat

Hanya tanda
Hanya niktah
Hanya nun
Hanya sepenggal cerita yang hanya padamu

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater "Koran"

Khalil Gibran