Cerita Anak Jalanan

 CERITA ANAK JALANAN  
    karya: Asri Jung


   BRAAKK!! 

 kulempar keluar rumah tas  yang berisi pakaian miliknya, aku sudah tidak bisa sabar lagi, ibu berulang kali menyuruhku beristighfar dan mencengkeram erat lenganku sambil menangis sesenggukan.       "Bapak nikah lagi kan? Tunggu apa lagi? Sana temui istri barumu dan jangan pernah mengusik kami lagi" ucapku dengan nada membentak.       "Dasar anak kurang ajar! " PLAAK!! Sebuah tamparan mendarat di pipiku, bapak tak terima dengan perlakuanku.       

"PUAASS!! PERGI SANA! " bentakku semakin emosi, ingin kulayangkan tinju tepat diwajahnya, namun ibu selalu menahanku.       "B*j*ng*n!! tanpa kau suruh aku juga akan pergi" balas bapak sambil mengambil tas yang kulempar tadi kemudian pergi meninggalkan kami.            

Restu Yudhantara, panggil saja Yudha, siswa SMA kelas 3, aku anak tunggal, lahir dikeluarga sederhana bersama ibu dan bapak, ibuku Tutik dia seorang buruh cuci, sedangkan Malik bapakku, dia bekerja sebagai kernet bis.       Aku punya keinginan untuk bisa kuliah di jurusan arsitektur, namun impian itu harus ku buang jauh-jauh ketika bapakku memutuskan untuk bercerai dan menikah lagi dengan wanita lain, jadi ketika lulus bukannya ikut ujian masuk perguruan tinggi aku malah turun ke jalan dengan gitarku yang kubeli dengan uang tabunganku, kemudian naik bis dan ku genjreng gitarku sambil bersenandung, setelah selesai kulepas topiku dan menodongkannya ke penumpang-penumpang berharap mereka mau menyisihkan uang mereka untuk seorang pengamen lusuh sepertiku.       

Karna hal itu juga tetangga-tetanggaku menggunjingiku, mengataiku ini itu menganggap bahwa kehidupan merekalah yang paling benar., bekerja ditempat yang layak atau kuliah di kampus idaman, bukan menjadi seorang pengamen jalanan sepertiku. Semua olokan mereka tak kugubris, selama ibuk masih menyemangatiku bahwa pekerjaanku tidak buruk, maka aku mempercayai itu. Tau apa mereka tentang kehidupanku? Mereka mungkin tidak tau bahwa ibuku yang tengah sakit hanya bisa berbaring di ranjang dan menungguku pulang, mereka mungkin juga tak peduli jika aku pulang tanpa membawa sepeser pun recehan maka kami akan menahan lapar semalaman.   
      

Sayangnya dunia seakan belum puas membuatku menderita, ibuku telah dipanggil oleh yang maha kuasa, kini aku hidup seorang diri, aku benci hidupku sendiri aku benci pada dunia,  mengapa orang yang paling kusayangi yang selalu menguatkanku disingkirkan dari hidupku?. Aku benar-benar berada dititik lelah, dimana aku hanya bisa pasrah dengan alur cerita yang sudah digariskan padaku.   
     

Dibawah remang-remang cahaya bulan, ditemani suara berisik kendaraan yang berlalu lalang dan suara klakson yang bersahut-sahutan, aku berjalan tanpa arah tujuan, gitar yang kupegang saat ini seolah menjadi harta yang paling berharga, karena dia aku bisa mendapatkan uang untuk bertahan hidup hingga saat ini, aku tak ingin pulang kerumah dahulu untuk sementara waktu, tentu saja karena aku 
sudah muak dengan nyinyiran tetangga-tetangga yang semakin menjadi-jadi.   
    

Tak lama setelah kepergian ibu, ketika aku ingin pulang kerumah untuk melihat kondisi rumah, mungkin sudah seminggu lebih aku tak pulang kerumah,  aku melihat seseorang yang membuatku naik pitam.      "Bapak mau apa lagi? Bapak udah bikin Yudha rusak kayak gini, bapak juga pasti seneng kan liat ibuk udah gak ada haa!? Belum puas!? " tanyaku dengan emosi yang meluap-luap.     


Namun bapak tak menggubris ucapanku, dan tetap meneruskan kegiatannya yang sedang menggeledah lemari, tak lama ia menemukan apa yang sedang ia cari dari tadi, baru saja ia mengambil sebuah map, kusambar map yang bapak pegang, kubuka isinya.      
" Mau bapak apakan surat-surat ini? Bapak mau jual rumah ini? " tanyaku dengan suara sedikit bergetar karena menahan emosi yang semakin menjadi-jadi.     
"Bukan urusanmu! " bentak bapak, kemudian menyambar kembali map yang kupegang tadi. DUAAGHH!! Tanpa sadar kulayangkan tinju ke arah wajah bapak, aku memukulnya lumayan keras,  sehingga menimbulkan sedikit luka dibagian mulut bapak.     
 "Brani kamu sama orang tua haaa!! Brani kamu!?" bentaknya di depan wajahku.     PLAAAKKK!! DUAAGGHH!! bapak membalasku dengan mencengkram kerah bajuku, kemudian menampar dan memukul perutku berkali-kali dengan keras, aku jatuh tersungkur tak berdaya, bukan karna aku bisa dengan mudah dikalahkan hanya dengan pukulan seperti itu, namun karna memang aku sedang dalam keadaan lelah dan lemas, aku belum makan sejak kemarin sore.      

"Dasar anak kurang ajar, kerjaannya cuma nyusahin orang tua" ucap bapak memakiku.       

 Dengan kodisiku yang sudah lemah aku tak bisa melakukan apa-apa lagi sekarang, aku hanya bisa memandangi bapak yang sudah berlalu meninggalkanku dengan kondisi yang cukup mengenaskan.   
      

Bapak sudah menjual rumah untuk berfoya-foya dan memanjakan istri barunya, aku sudah tak punya apa-apa dan tak punya siapa-siapa lagi saat ini, aku seperti hidup sebatang kara, bapak benar-benar sudah tak peduli denganku dan sudah tidak menganggapku sebagai anaknya lagi.      

Disini lah aku mulai tersesat jalan, aku mulai membuat tatto ditubuhku dan merusak tubuhku sendiri dengan mabuk ganja dan minuman, ya itu semua pelarianku, ketika aku mulai merasa bahwa baik hidup atau mati tak kan ada yang peduli, atau mungkin aku memang seharusnya tak dilahirkan ke dunia.   
    
" Kamu cantik bikin aku penasaran o ya kayak artis yang turun dari sedan, aku panggilin dukun dari magetan, magetan ora mempan, kedukun jambi, dukun jambi soyo edan, aku bunuh diri.... ;" kususuri bangku demi bangku menerima setiap receh yang penumpang berikan, turun bis kemudian naik lagi bis yang lainnya, turun lagi kemudian naik lagi begitu terus hingga senja, kemudian berganti malam, disinilah aku masih berdiri dan bernyanyi.      

Setelah lelah ngamen seharian aku duduk di pelataran toko yang sudah tutup, kuteguk miras yang yang baru kubeli sambil menerawang bintang-bintang di langit.  
  
Gemerlap cahaya bintang di langit yang hitam mengingatkanku pada impian yang pernah kubuat dulu, kemudian timbul pertanyaan di kepalaku, apakah jika bapak  tidak meninggalkan ibu waktu itu maka aku bisa mewujudkan impianku? Apakah jika itu terjadi maka sekarang aku tak akan berada disini dengan banyak warna tinta ditubuhku? Dan yang kupegang saat ini pasti buku dan pulpen, bukan botol miras?, tiba-tiba aku merasa ada embun dipelupuk mataku, semakin banyak dan semakin banyak akhirnya meluap dan membasahi seluruh bajuku, aku terisak ditempat, kulempar botol miras yang kucengkram sehingga menimbulkan suara PRAANG!! yang cukup keras, aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa, jika ini memang bagian dari cerita hidupku, aku hanya bisa menyalahkan diriku sendiri, kucoba untuk mengatur emosiku, setelah lumayan reda kupejamkan mata sejenak, dan menikmati hembusan angin malam untuk sementara.   
     

Esoknya aku terbangun dengan mata sembab, jam menunjukkan pukul 8 pagi, baru kali ini aku merasa malas untuk ngamen padahal biasanya jika aku terbangun dari tidurku maka yang kucari pertama kali adalah gitarku.       
"Hoy yud bangun, kagak ngamen lu? Biasanya jam segini lu udah bawa recehan" ucap seseorang yang bisa kukenali dari suaranya.        
" Aahh bacot lu, udah sono, lu kalo mau ngamen, ngamen aja nggak usah ganggu gua" jawabku kesal.  Namanya Cungkring, usianya dua tahun lebih tua dariku, kami sudah berteman sejak pertama kali aku menjadi seorang pengamen, kami bertemu di bis yang sama, dia biasa mengamen dengan alat musik tamborin, dia memberitahuku bahwa jika ingin ngamen, pastikan tidak ada orang yang mengamen di bis itu, artinya satu bis satu pengamen, lambat laun kami mulai akrab dan berteman hingga sekarang.       
"Nih minum dulu" ia menawariku botol air minum yang sudah hampir habis.     
"Nggak ah, udah tinggal dikit, lu abisin aja sekalian" tolakku.  Ia memandangi botolnya sebentar kemudian duduk disampingku, aku yang tadinya tiduran pun ikut duduk.     
"Yud, emang lu gak ada cita-cita apa? Lu kan baru aja lulus SMA, lu gak mau cari kerjaaan yang lebih mapan apa? Ato kuliah kek? "Tanyanya tiba-tiba.      
"Hahaha... lu lagi mabuk ya?  Kok ngomongnya bisa gitu? " jawabku sekenanya.      
"Gua serius yud, gua kalo liat lu tuh kayak gua ngaca sendiri, sebegitu rusaknya kah hidup gua?" ucapnya dengan nada serius.    
 "Gua dulu sebenernya pengen lanjut ke SMK, gua pengen masuk jurusan otomotif, trus pas udah lulus nanti gua mau buka bengkel sendiri, tapi ya karna masalah keluarga, gua malah jadi kayak gini sekarang" sambungnya, kini nadanya lebih serius.  
Aku mendengarkan dan menatapnya dengan serius pula.       
"Emang apa yang bisa gua andalkan? gua udah nggak punya masa depan yang mapan buat gua perjuangin" jawabku dengan nada serius juga.        
"Kalo lu mau usahain kayaknya masih bisa" ucapnya sambil menatap kearahku.      
"Nggak tau, belum gua pikirin" jawabku singkat. Aku malah merasa diingatkan kembali dengan kejadian semalam, yang mana sudah membuat mataku sembab pagi ini, dan aku tak ingin mengingat itu lagi, karna aku malu jika nanti aku terlihat seperti bayi cengeng di depan Cungkring.  
      
Untuk beberapa saat kami saling tatap, kemudian Cungkring berhenti menatapku, ia sedikit mendongakkan kepalanya ke atas, menatap awan-awan yang berarak di langit.      
"Kebanyakan orang yang senasib kayak kita, semua karna keluarga mereka yang tidak harmonis, atau yang mau tidak mau harus hidup sebatang kara seperti kita, dan berfikir bahwa nggak ada masa depan yang bisa diperjuangkan, kasih sayangnya terabaikan, kasih sayangnya dilupakan" ucapnya.       
"Iya gua tau kok maksud lo, dan jadilah mereka anak jalanan kayak kita" sambungku.  Cungkring menatap kearahku kemudian tertawa padaku.      
 "Kok malah ketawa sih?" tanyaku bingung dengan respon Cungkring yang malah menertawaiku.       "Dialognya kayak lirik lagu tau gak" jawabnya sambil masih tertawa.      
 "masa sih? " tanyaku lagi, karna memang kata-kata yang kuucapkan tadi meluncur begitu saja.  Tapi Cungring malah kembali menatapku dengan serius, kemudian mengernyitkan dahinya.      
"Eh... lu semalem abis nangis ya? " tanya Cungkring tanpa menjawab pertanyaanku yang tadi.       "Apaan sih? Kagak elaah" sanggahku, dasar pasti gara-gara mata sembab ini.       
"Halah ngaku aja, orang buktinya udah di depan mata" desaknya.       
"Aahh bodo ah, awas-awas mau ngamen gua" ucapku mencoba menghindari pertanyaan introgasi darinya.       
"Naaah gitu dong, walaupun kerjaannya cuma ngamen, tapi harus tekun dan disiplin, biar jadi pengamen yang berkualitas" guraunya. Aku tak menggubris candaannya, dan langsung menaiki bus yang baru saja datang.     
 "Selamat pagi para penumpang yang mau kerja jangan lupa semangat yang mau kuliah jangan lupa semangat juga, saya akan menemani perjalanan anda dengan lagu yang akan saya nyanyikan" ucapku menyapa penumpang dengan nada ala pengamen-pengamen jalanan. 
JREEENG....JREENG...!! " aku ngamen neng njero bis-bisan... Penumpange akeh tenan... Supir e gal-ugalan... Aku tibo jempalikan..... ;" Setelah selesai melantunkan satu tembang, kulepas topiku dan mulai menyusuri bangku per bangku untuk menerima recehan yang diberikan penumpang.       "Terima kasih atas perhatiannya semoga selamat sampai tujuan, dan sampai jumpa" ucapku menutup sesi ngamen di bis itu.                                                          


  SELESAI 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater "Koran"

Zaman Edannya Serat Kalatidha

Profil Teater Metafisis